Ketika Manusia Aus dan Rusak


Beberapa hari ini saya cukup tertekan karena tidak juga menemukan topik yang cukup menarik untuk dituliskan di sini. Saya mencoba menulis tentang beberapa hal ironis yang menghiasi berita akhir-akhir ini, tapi tidak menemukan bahwa hal-hal tersebut cukup berharga untuk dituliskan.

Segala sesuatu memang cepat berubah. Sesuatu yang dulunya kita anggap menarik tiba-tiba saja menjadi membosankan. Orang-orang yang tadinya kita anggap menyenangkan saja bisa tiba-tiba berubah menjadi menyebalkan.

Berbicara tentang “orang-orang” tidak sama dengan bicara tentang “uang” atau “mesin-mesin” atau “proyek-proyek” atau “ide-ide”. Orang adalah sesuatu yang melebihi mesin, proyek, ide bahkan uang sekalipun.

Apakah Anda sepakat dengan saya jika saya mengatakan bahwa hal paling banyak yang kita temukan di sekitar kita adalah orang-orang. Mereka begitu banyak, berseliweran, hilir mudik di depan hidung kita. Sebagian hanya kita jumpai sekali, sebagian berkali-kali, sebagian harus kita terima menjadi bagian dari kehidupan kita, suka atau tidak.

Sebagian datang dan membuat kita senang, sebagian menyebalkan dan membuat hari kita menjadi buruk, sebagian lagi datang dan pergi bahkan tanpa kita sadari keberadaannya.

Waktu saya kecil, saya pernah bertanya pada pembantu saya yang kemudian menatap saya dengan kebingungan karena tidak tahu harus menjawab apa. Kalau saya pikirkan pertanyaan saya tersebut, saya rasa Anda pun akan bereaksi sama seperti pembantu saya. Haha…maaf, saya sama sekali tidak berniat menyombong… Bahkan saya pun akan bersikap seperti pembantu saya jika ditanya seperti itu.

Saya masih ingat sekali waktu itu saya bertanya pada pembantu saya di mobil sambil merebahkan kepala saya di pangkuannya, seperti yang biasa dilakukan anak usia 8 atau 9 tahun, “pernah ga kamu kepikir, kenapa kita diciptakan jadi kita. Kenapa saya ga diciptakan jadi dia. Pernah ga kamu kepikir gimana rasanya jadi orang lain.” Sebenarnya maksud saya lebih rumit dari pertanyaan itu, saking rumitnya saya sampai tidak sanggup menggambarkannya dengan kata-kata.

Tapi kurang lebih seperti ini.. Selama saya menulis ini, saya sedang menyaksikan tiga orang pria dewasa bergantian foto di dekan mobil Mercy tua yang dipajang di sebuah mall. Jika dikaitkan dengan pertanyaan saya tadi, maka saya akan berpikir “apa yang dia pikirkan tentang saya yang sedang duduk sambil menulis dan bagaimana jika tiba-tiba kami bertukar tempat, akankah saya melakukan hal yang sama seperti dia?” Agak memusingkan bukan?

Baik, tidak usah membahas itu lagi… Saya tetap ingin membahas tentang orang-orang. Saya tadi terlibat percakapan dengan teman saya tentang “reparasi orang”. Saya katakan bahwa kebanyakan sekolah atau gereja atau perusahaan menganggap orang-orang sebagai mesin yang harus melakukan sesuatu untuk kelangsungan organisasi.

Mari kita ambil contoh paling mudah, dan paling ekstrim: gereja. Ketika seseorang masuk ke dalam suatu gereja, harapan awalnya adalah merasa “dipuaskan” atau ada juga yang sekedar untuk “cukup layak bagi Surga”. Mungkin juga ada yang bertujuan “menambah teman baru” atau “merasa digembalakan”. Intinya mereka masuk ke sana karena sebuah tujuan yang berkaitan dengan keinginan mereka sendiri.

Ya, sesuatu yang berhubungan dengan kerohanian biasanya berhubungan dengan kepentingan diri sendiri, entah itu supaya merasa tenang, supaya diberkati, atau supaya masuk Surga.

Ketika kemudian orang itu masuk semakin “dalam”, kemudian dia mulai belajar bagaimana hidup yang seharusnya sesuai dengan keinginan Tuhan, kemudian berkembang menjadi bagaimana hidup di dalam sebuah “tubuh Kristus”, bagaimana harus melayani, dan bagaimana harus terlibat dalam sebuah “jemaat”.

Tidak ada yang salah dengan itu semua. Saya sendiri telah melihat begitu banyak hal positif saat seseorang mulai terlibat dalam sebuah pelayanan.  Sebuah tempat pelayanan yang baik memang seperti menjadi tanah yang subur bagi jiwa-jiwa. Dimana rekan sepelayanan akan saling menjaga dan mengingatkan satu dengan yang lain.

Tapi tahukah Anda bahwa seringkali maksud pribadi “pergi ke gereja” yang kemudian bergeser menjadi “menyenangkan dan melayani Tuhan” lama kelamaan bisa juga bergeser menjadi “untuk kepentingan gereja lokal”?

Tahukah Anda bahwa lama kelamaan fanatisme terhadap sebuah organisasi tertentu (atau tokoh tertentu) dapat berkembang begitu pesat sehingga para pelayan di gereja mulai tersesat. Mereka bingung antara melayani Tuhan atau Pastor, antara memberitakan Injil Kerajaan Surga atau membela organisasi mati-matian. Mereka bingung menempatkan kesetiaan, pada Tuhan atau Pastor.

Tak jarang kita melihat pastor-pastor  yang diidolakan atau organisasi gereja yang menjadi trendsetter dan “kandang impian” bagi para domba. Saat ini terjadi, maka para pelayan tidak lagi diperhitungkan sebagai “orang-orang”, tapi hanya sekedar “ide-ide” atau “mesin-mesin”. Tenaga mereka diperas namun sisi kemanusiaan mereka dilupakan.

Pernahkah terpikir oleh Anda, bahwa jika manusia diperlakukan seperti mesin, maka sama seperti mesin, manusia juga bisa “rusak”. Bahwa seringkali maintenance rutin (baca:ibadah minggu) tidak cukup untuk menjaga jiwanya terpelihara dengan baik. Bahwa keausan pada mesin bisa menjadi kejenuhan pada manusia.

Saat hal ini terjadi, siapa yang bertanggungjawab? Jika Anda pernah membaca “gereja bintang lima” yang saya tulis,  Anda akan menemukan bahwa kecenderungan gereja saat ini berharap jemaatnya bisa memulihkan diri sendiri, sama seperti cicak yang bisa menumbuhkan ekornya sendiri, atau ular yang berganti kulit setiap beberapa waktu sekali.

Baik, Anda mungkin berkata bahwa keausan atau kejenuhan itu bisa terjadi kepada mereka yang tidak mengimbangi pelayanan dengan menjalin hubungan yang erat secara rutin dengan Pencipta. Baik, lupakan sejenak keausan, bagaimana jika kerusakan?

Apakah Anda tidak percaya bahwa hati dan otak manusia pun memiliki suatu batasan? Bahwa setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing? Bahwa besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya?

Begitu banyak kasus orang keluar dari pelayanan atau bahkan gereja karena mereka “sakit”. Apa yang Anda lakukan pada mesin rusak? Betul sekali! Anda punya dua pilihan, memperbaikinya atau membuangnya!

Jika Anda menganggap manusia sebagai mesin-mesin (seperti di perusahaan atau pabrik), maka yang akan Anda lakukan adalah menghitung biaya. Apakah biaya memperbaiki mesin lebih tinggi daripada membeli mesin baru. Kemudian walaupun harga memperbaiki mesin lebih murah, Anda menimbang, akankah mesin itu rusak lagi… Dengan kata lain, cukup berhargakah mesin itu untuk diperbaiki jika kemudian akan dengan mudah rusak kembali?

Jika dianalogikan kepada manusia, Anda akan menghitung, apakah energi yang dikeluarkan untuk memperbaiki hati yang rusak lebih tinggi daripada merekrut pelayan baru (yang mungkin saja lebih berpotensi, lebih pintar). Kalaupun energinya tidak terlalu besar, apakah lebih baik merekrut orang lain yang lebih muda, pintar dan tidak mudah sakit hati?

Apa Anda pikir saya keterlaluan karena membandingkan manusia dengan mesin…? Bisakah Anda tanyakan kepada diri Anda, atau pendeta di gereja Anda atau atasan Anda. Ceritakan padanya mengenai si A yang sakit hati… Apakah ada tindakan yang diambilnya jika si A ternyata tidak “cukup berharga untuk dipertahankan”? Jika Anda, atau pendeta atau atasan Anda tidak melakukan seperti yang saya ceritakan di alinea sebelumnya, saya ikut senang…