Pertemuan pertama yang kedua

Jantung ini berdebar kencang, ketika dia mengabariku bahwa dia sudah ada di ujung kota ini. Dia yang menghilang selama 10 tahun, sekarang berada di kota yang sama, menunggu untuk bertemu denganku.

Menurutnya, saat ini kondisinya tak baik, membuat jantungku berdebar lebih keras. Sebenarnya dua hari sebelum pertemuan ini kami sudah bertukar kabar lewat telepon. Sedikit pun tak pernah terbayang bagaimana kondisinya setelah sekian lama tak bertemu.

Aku bangun pagi hari itu, mengenakan pakaian seadanya , tanpa makeup. Sejak dulu aku tak pernah sengaja pakai makeup jika bertemu dia. Dia selalu menerimaku apa adanya sejak dulu, dan aku pun nyaman menemuinya apa adanya.

Setelah membagikan lokasiku, aku mengemudikan mobil pink-ku dengan kencang melewati tol ke ujung kota. Katanya dia menginap di hotel kecil di sana, hotel yang lebih mirip kos-kosan. Dia baru tiba pukul 3 pagi, istirahat sebentar, dan pk. 6 pagi aku sudah akan menjemputnya.

Setelah mengetahui kamarnya, aku melangkah dengan ragu. Dalam hati bertanya-tanya, seperti apa dia sekarang… apa dia masih sama seperti dulu, dengan kepercayaan diri dan semangat berkobar-kobar. Aku naik ke lantai dua tempat kamarnya berada, antara ingin cepat dan berlambat-lambat. Ingin cepat karena ingin menemuinya, tapi berlambat-lambat karena tak tahu seperti apa dia yang akan aku temui.

Pintu kamarnya sudah terbuka, dan kulihat dia duduk di samping tempat tidur, mengenakan topi merah (sepertinya dia sekarang membotaki kepalanya, pikirku). Benar-benar berbeda dari terakhir kali aku melihatnya.

Aku sekuat tenaga menahan tangis, sepertinya waktu telah bersikap begitu kejam. Tubuh yang dulu tegap sekarang agak membungkuk menahan sakit. Perut yang dulu rata sekarang membuncit. Tubuh yang dulu ideal sekarang gemuk. Kulitnya sekarang begitu hitam, belum lagi jenggot yang mulai tumbuh dan memutih (yang aku lihat kemudian setelah dia membuka maskernya).

Setelah menggendong ranselnya dia mulai berdiri dan berjalan keluar… agak tertatih.

“Mau dibantu turun?”

“Enggak, bisa kok”

Bahkan suaranya saja berubah, lebih dalam dan bicaranya lebih perlahan.

Dengan terdiam kami masuk mobil, dan aku mengendarainya menuju Tahura, tempat kenangan kami berdua..

Aku tidak perlu memperpanjang lagi kisah itu karena sudah pernah kutuliskan sebelumnya di blog ini.

Pertemuan pertama yang kedua begitu berbeda dengan 17 tahun lalu, pertemuan pertama kami yang bertama… kala itu kami masih sama-sama muda, senyum merekah di bibirnya dan dengan semangat dia menghampiriku “ada yang perlu dibantu?”

Tapi aku bersyukur untuk kedua pertemuan itu. Kami bertemu di masa belia… dan jatuh cinta. Pun kami bertemu di usia puncak kami, dan lagi-lagi jatuh cinta.

Aku pernah berkata padanya, kita tidak bisa bersama di usia muda.. tapi kita bisa bersama di usia tua, dan kami mewujudkannya.

Kami mengikat janji suci 23 Februari 2023, tepat di hari ulangtahunku. Momen indah di pulau Dewata yang dihadiri keluarga saja.

Lihatlah dia, kembali gagah, kembali tegap, kembali penuh semangat. Senyum cerianya kembali, sorot mata tajamnya kembali (bahkan suaranya dan logat sundanya pun kembali)

Aku sering berkata padanya “terimakasih telah datang kembali”, aku ingin menambahkan satu hal …

“Terimakasih untuk keberanian kamu keluar dari cangkang dan kembali menjadi dirimu sendiri. Aku akan bersamamu, mendampingimu sampai maut memisahkan kita.”

Aku bisa pastikan tak ada pertemuan pertama yang ketiga, karena bagaimana pun kita tak akan berpisah lagi karena kita akan menua bersama

Topeng logika

Saya sedang melihat-lihat blog-blog saya setelah beberapa tahun tidak menulis secara aktif di kedua blog (greissia.com dan di sini). Saya melihat bahwa lebih dari 95 persen yang saya tuliskan berasal dari kepala saya, bukan dari hati.

Sebagai anak perempuan pertama dari keluarga warga negara Indonesia keturunan Tionghoa (yang dibesarkan sepanjang 80 dan 90an), saya lebih banyak dilatih untuk menggunakan kepala dibanding hati… logika dibanding perasaan.

Ketika dulu berantem dengan adik saya (sampai sekarang pun masih suka berantem, btw), orang tua saya jarang bertanya alasan pertengkaran itu, atau apa yang kami rasakan. Kebanyakan mereka langsung menyampaikan logika “anak paling besar harus mengalah” (setidaknya itu yang saya ingat), kemudian diikuti dengan disiplin.

Orang tua saya, seperti juga para orang tua pda jaman itu jarang mau mendengar alasan atau isi hati anaknya. Kesibukan membuat mereka tidak ada waktu mendengar curahan hati anak-anaknya. Saya tidak menyalahkan orang tua saya. Pada jaman itu kebanyakan memang begitu.

Perasaan, bagi orang tua di masa itu adalah sesuatu yang seharusnya disimpan saja. Menangis adalah tanda salah, atau lemah. Makin menangis, makin dipukul atau dihukum. Jika memaksa menyampaikan perasaan… kau anak egois. Kurang lebih begitulah anak-anak dibesarkan. Bukan berarti keluarga kami tidak bahagia. Tapi apa itu bahagia jika “wajar” saja cukup?

Nah, kembali ke blog-blog saya… itulah mengapa blog-blog saya lebih banyak menuangkan isi kepala, karena menuangkan perasaan hanya untuk orang lemah (setidaknya itu yang saya pikirkan saat itu)

Tapi sebenarnya saya juga punya perasaan… kami punya perasaan. Hanya saja kami diajar untuk menekannya ke dalam… jauh ke dalam. Karena itulah saya agak menyesal sekarang… seandainya saya banyak menuliskan perasaan saya di masa-masa 10-14 tahun lalu (saat saya mulai menulis), tentu sekarang saya bisa melihat dan belajar sesuatu.

Belajar bagaimana sebenarnya manusia begitu rapuh, namun bisa bangkit… bukan menunjukkan dirinya selalu kuat dan cerdas.

Sekarang jika saya menjelajah blog-blog saya, isinya hanya tentang apa yang saya pikirkan, sebuah idealis bahkan pada masa-masa terberat dalam hidup. Sebuah topeng logika yang dipakaikan pada perasaan yang rapuh.

Hari ini ketika topeng itu sedikit demi sedikit terbuka, bahkan menuliskan ini pun bisa membuat air mata menitik…

Perasaan manusia itu sesuatu yang dalam, sama dalamnya dengan pikiran manusia. Menjadi manusia utuh adalah manusia yang melatiha dan menggunakan keduanya secara seimbang, iya kan?

Sometimes

Sometimes,

I see you as a teenager, who has a great dream, and has a dream to make your dream come true…

But then, I see you as a young man, who steps to your next level, and do something to make your dream come true…

And i believe that someday, I will see you as a man, who has already reached his dream and start to have another dream…

And to make your dream come true… I will always be there for you… just ask me a favor, and I will gladly help…

Sometimes I see you as a teenager, who needs someone older to keep you on a right way…

But then, I see you as a young man, who walk with confidence in your own way…

And i believe that someday, I will see you as a man, who will beside me, and hold my hand to walk in our way…

And to walk in our way, I will always trust you…and hold your hand…

Sometimes I see you as a teenager, who cannot control your emotion, and act on it…

Sometimes I see you as a young man, who can control your emotion, and think twice before you make an act..

And I believe someday, I will see you as a man, who act wisely, and tell me to do so…

And to be wiser, you should learn…and not angry easily when something bad happen, including if I, who make you angry 🙂

And,

Sometimes I see you as a teenager…who make a mistake and doesn’t want to admit or ask for apologize.

But then, I see you as a young man…who make a mistake and decide to admit and apologize…

And i believe that someday… you will still make a mistake….and decide to learn from it

And to make you learn from it… I will always forgive you, and never blame you if you make an error…

Because I love you…

Ps: Menulis ini tanggal 1 Maret 2009

Part 7: Cinta itu Petualangan

Kalimat “tapi kan seharusnya“ sama saja dengan “Andai saja…”, hanya saja kali ini aku yang mengucapkannya… Setiap kali mengingat keputusanmu dalam sepuluh tahun ini, hatiku (mungkin tepatnya egoku) tak terima… dan berkata “tapi kan seharusnya”

Aku tak terima ketika kau, yang mengatakan mencintaiku, untuk sekejap memunggungiku, padahal aku sendiri yang menjauhkanmu… dasar si aku wanita tak tahu diri.

Aku tak terima jika ada yang lain, padahal aku sendiri yang membuatmu berada di situasi itu, kau tak memiliki pilihan…aku menghancurkan satu-satunya pilihan yang kau punya saat itu.. aku memang egois.

Namun seperti yang telah kita berkali-kali ucapkan, sayang… tak ada gunanya menyesali apa yang lampau. Aku bergelut dengan diriku, menghilangkan kalimat “tapi kan seharusnya…”. Dan bukankah kita sepakat memulai babak baru, kau dan aku… tanpa gengsi, malu dan ragu.

Aku akan melakukan apa yang tak berani kulakukan saat itu. Menghadapi apa yang tak berani kuhadapi saat itu, dan membuat keputusan benar kali ini… memulai babak baru, bersamamu.

Kata “maaf” memang mudah diucapkan, dan “aku memaafkanmu” pun sama. Tapi tak sakit hati ketika mengingat apa yang lampau, tak menjadi pahit hati ketika menerima apa yang terlanjur terjadi… jauh lebih sulit untuk dilakukan. Sayang, kita akan menghadapinya dengan berani, bukan? Melupakan sakit hati dan kepahitan, supaya bisa maju ke depan.

Aku baru mendengar bahwa “cinta itu petualangan.” Andai saja aku mendengarnya lebih awal. Andai aku mendengarnya 12 tahun yang lalu,… ketika keraguan pertama kali muncul. Aku tentu akan menghadapinya dengan antusias… bertualang bersamamu, seperti yang akan kita lakukan sekarang.

Part 6: Menghabiskan masa tua

Kamu masih berkali-kali berkata andai kita tak berpisah, andai kita bisa menghabiskan masa muda bersama, andai kita bisa menjelajahi negeri ini bersama, andai kita bisa bertualang bersama, dan banyak andai lainnya…

Kemudian aku menjawab “seandainya kita tak berpisah…akankah kita tetap memiliki perasaan ini?” Kamu termenung sejenak, kemudian mengangguk dengan kuat “masih”

Masalahnya sayang, dengan egoku saat itu, dan dengan kebaikan hati yang menutupi egomu juga… mungkin kau pun tak akan tahan. Ada banyak pembentukan yang kita lalui selama satu dekade ini.

Masalahnya sayang, jika kita tetap bersama, tanpa apa yang telah kita lewati masing-masing selama 10 tahun ini, mungkin aku mempertahankan egoku, dan gengsimu sebagai pria, cepat atau lambat mungkin tak terbendung…

Tapi itu hanya mungkin…ya hanya mungkin… karena tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi masa lalu jika suatu peristiwa dibatalkan atau ditambahkan… karena apa yang sudah terjadi, tak akan bisa diandaikan tak terjadi. Demikian juga apa yang tak terjadi, tak bisa diandaikan jika terjadi.

Karena semuanya hanya kemungkinan, maka berandai-andai tak ada gunanya…

Namun aku bisa mengatakan ini… kita mungkin tak bisa menghabiskan masa muda bersama, tapi kita mungkin bisa menghabiskan masa tua bersama…. Tapi “mungkin” yang ini dapat kita realisasikan jika kita memiliki tekad…karena semuanya belum terjadi.

Sayang, kita tak dapat mengubah apa yang telah kita lewati sebagai bagian dari konsekuensi yang telah kita jalani… kita terpaksa menerima kenyataan bahwa kita tak menghabiskan masa muda bersama. Tapi, kita masih punya waktu… kita masih punya kemungkinan yang dapat kita wujudkan kalau Sang Pencipta mengijinkan… kita masih punya kesempatan menghabiskan masa tua bersama…

Part 5: Dalam Satu Dekade Ini

Terlepas dari apa yang terjadi pada kita, sayang… dalam satu dekade ini kita tak saling memiliki. Kau tak ada dalam hidupku, begitu pun sebaliknya.

Aku ingat pesan terakhirku padamu. Well, seharusnya menjadi pesan terakhir, namun ternyata setelah itu masih ada beberapa pesan lagi. Kau mencoba untuk merajut kembali, dan situasi menjadi tak terkendali, lebih parah dari sebelumnya. Ah, seharusnya pesan itu menjadi pesan perpisahan yang cantik

Pesan terakhirku terbungkus kalimat yang sangat manis. Aku mengatakan bahwa setiap manusia memiliki panggilannya masing-masing. Panggilan yang indah dan mungkin kita berdua memiliki panggilan berbeda di jalur yang berbeda.

Dalam surat itu aku mengharapkan yang terbaik. Percaya pada kepintaran dan kebaikan hatimu bahwa kau dapat mewujudkan impianmu, tanpa aku di dalamnya. Aku meminta kau berbahagia, tanpa aku.

Aku katakan bahwa aku percaya padamu, seorang yang berhati mulia dengan integritas tinggi (Kau kemarin bertanya, jika aku berpikir begitu, kenapa aku memintamu pergi…)

Dalam satu dekade ini, kita memang tidak saling mengisi kehidupan masing-masing, sayang. Sesekali kita berusaha saling mengontak. Aku mengirimimu ucapan selamat ulangtahun, yang tak pernah kau balas, kau pun demikian (aku bahkan baru menemukan email ucapan selamat ulangtahun darimu, yang sepertinya tak pernah kubuka, apalagi balas.)

Kau bilang beberapa kali menghubungiku, tapi sepertinya semesta membajak semuanya. Aku tak pernah menerima pesan-pesanmu. Kau bilang (bahkan dengan bukti), aku mengirimimu nomor telepon yang selalu membalas dingin sms saat kau hubungi. Nomor telepon yang ketika kulihat bahkan aku lupakan.

Dan ada banyak hal yang mencegah kau datang padaku… terlalu banyak hal yang membuat kita tak dapat bersama lagi dalam satu dekade ini.

Apa namanya jika bukan semesta membajak hubungan ini? Ah, aku tahu…mungkin memang belum waktunya Tuhan. Mungkin Tuhan sendiri tak mengijinkan kita bersama saat itu.

Kita berdua masih meneteskan air mata, setiap kali mengingat… bahwa kita tak ada dalam sejarah hidup orang yang paling kita cintai selama satu dekade ini.

Kita masih meneteskan air mata, setiap kali melihat apa yang waktu perbuat pada penampilan kita yang menua…tanpa kita menjadi bagian dari satu sama lain selama satu dekade lebih.

Kita masih meneteskan air mata, setiap kali mengingat kesempatan yang kita buang karena ego masa muda yang begitu tinggi… kesempatan untuk bahagia, bersama… walau tentu saja pasti ada tantangan karena perbedaan kita.

Kita masih meneteskan air mata penyesalan, atas setiap pedih dan sakit hati yang kita torehkan kepada orang yang paling kita cintai, dan selama sepuluh tahun tak berdaya memperbaikinya.

Kita masih meneteskan air mata mengingat kepedihan saat merindu… harapan yang hilang selama satu dekade

Ya, saat ini kita masih meneteskan air mata…

Tapi ada saatnya, Sayang. Kita harus hapus air mata ini. Kita tidak boleh mengijinkan penyesalan merusak kita dari dalam. Kita tidak boleh terus menerus hidup di masa lalu padahal kita telah saling menemukan…

Ada saatnya kita harus berdiri tegak menyambut masa depan dengan senyum, karena kita pun layak mendapatkannya.

Penyesalan

Penyesalan itu jahat
Ia menghancurkan hati
Meremukkan tulang

Membuatmu berandai-andai
Andai dulu tak begini
Anda dulu melakukan ini

Penyesalan itu jahat
Membuatmu membenci diri
Membuatmu merasa tak berdaya

Tak bisa kembali untuk memperbaiki
Tak bisa mengulang apa yang lewat
Tak bisa mencegah apa yang telah terjadi

Penyesalan itu jahat
Kalau kau menenggelamkan diri di dalamnya
Berkubang dan memutuskan tinggal

Ya, penyesalan itu jahat,
Kalau kau memutuskan menjadikannya bawaanmu
Sepanjang sisa umurmu

Interlude: Hai Dindaku

His….

Ini adalah tahun ke dua semenjak kita berpisah..
Ada rasa yang menggila di kepalaku..
Ada logika yang berontak di hatiku ..
Ada begitu keinginan menggelora dalam jiwa raga ini..
Yakni memilikimu…

Ku hempaskan bayangmu, namun kembali..
Kupecahkan bagian kenangan kita, namun menyatu kembali..
Menggantikan nafasmu, namun terdengar suaramu kembali..
Memikirkan amarahmu, namun nampak senyummu..
Haruskah ku kembali padamu??

Alam semesta seakan menarikku pada masa lampau..
Pada masa aku dan kau..
Pada hari-hari dimana kita bersama..
Kenangan itu seakan manarikku kembali..
Aku tak mau lari..

Baiklah akan kutemui kau…
Tolong jawab panggilanku…

Aku sudah tiba

His

Hai perempuanku…
Walau banyak yang tak kau lihat setelah kita berpisah..
Biarlah aku saja yang melihat kejam dan kerasnya dunia ini..
Walau banyak yang tak kau alami..
Biarlah aku saja yang mengalami..
Walau mungkin kau berpikir aku tak menujumu, aku berlari tuk melihatmu..
Mungkin kau berpikir aku berpaling,
Sebenarnya aku ingin mendapatkanmu…

Kala itu…

Aku teringat oleh gerakan bibirmu..
Aku suka cerita-ceritamu..
Cerita tentang semua hal..
Tentang kau, aku, dan mereka..
Tentang kekonyolan yang terjadi di bawah matahari ini…
Tentang kebisuan di bawah bulan pun…
Aku suka mendengarkanmu..

Ingatlah di persimpangan itu, kau menjemputku..
Ingatlah kau membuka jalan untuk ku ucapkan cinta padamu..
Ingatlah kau memilihku..
Yaps, begitulah hati mengawali..

Kini..
Aku sudah tiba…
Maka jangan kau usir lagi..
Aku sudah tiba…
Jangan kau hianati hatimu lagi..
Aku sudah tiba..
Jangan kau switch tombol itu lagi, hancurkanlah itu.
Aku sudah tiba..
Maka marilah genggam erat tanganku..
Percaya padaku, walau kelak badai menerpa kita, bersama kita atasi.

Lihat aku

Lihat aku,
Menanti di ujung jalan ini,
Berjalanlah terus,
Tak apa tertatih,
Aku menunggu

Setelah itu,
Kita lanjutkan perjalanan bersama

Lihat aku,
Di batas mimpimu
Bangunlah sekarang,
Tak apa perlahan,
Ada aku

Setelah itu,
Kita bangun mimpi yang sama,

Dalam setiap masalah,
… ada kesempatan
Dalam setiap duka,
… selalu ada penghiburan,

Lihat aku,
Berjalanlah walau tertatih,
Bernafaslah walau terasa sesak,
Bangunlah walau terasa berat,

Dan tibalah padaku…