Akar permasalahannya apa?

Saya baru saja menonton tv one, acara investigasi peristiwa kriminal. Kasus kriminal yang sedang dibahas adalah mengenai MA, seorang siswi SMAN 22 Jakarta yang menjadi korban guru biologinya.

Si siswi mengaku diancam gurunya yang berinisial T untuk melakukan oral sex. Guru T membantah dan malah mengungkap bahwa yang memiliki hubungan dengan MA adalah guru berinisial Y. Di berita lain saya membaca guru T bahkan mengatakan pernah melihat MA dan Y sedang berduaan, dan ia mencoba memberi peringatan pada keduanya.

Dalam pengakuan MA (yang mana menurut saya agak aneh), dia mengatakan bahwa pelecehan itu terjadi empat kali di tempat yang berbeda, salah satunya di Ancol, Sentul dan rumah T. Lucunya selama beberapa kali itu tidak ada kekerasan dari guru T. Pertanyaan terbesar yang seharusnya muncul adalah, “bagaimana yang pertama kali bisa terjadi?”. Tidak ada perkosaan, hanya MA diminta melakukan oral sex terhadap guru T.

Setelah kali pertama itu, MA diancam, jika bilang-bilang ke orang lain, maka nilai-nilainya akan terancam, dan ijazahnya ditahan. Ini yang menurut saya tidak masuk akal. Jika memang siswi berjilbab ini mengutamakan kehormatan, mengapa rela diam dan membiarkan ini terjadi sampai 4 kali demi nilai dan ijazah. Apalagi itu terjadi di awal tahun ajaran. Ceritakan saja pada orangtua atau yang berwajib, lalu pindah sekolah.

Pertemuan selanjutnya yang menurut saya lebih aneh. Menurut pengakuan MA, guru T meneleponnya, janjian di jalan dekat pintu tol. Di situ guru T menjemput MA. Sudah ada bantal di bagasi. Maaf, bukannya tidak melindungi hak anak, tapi ini tidak masuk akal. Lebih tidak masuk akal lagi ketika MA mau saja disuruh masuk bagasi yang ada bantalnya supaya tidak terlihat tetangga. Lalu kemudian diam-diam masuk rumah guru T. MA tahu untuk apa bantal itu, tanpa perlawanan keluar dari mobil, masuk bagasi…aneh sekali.

Jika memang guru ini cabul dan menggunakan ancaman, mengapa sekedar (maaf) oral sex. Apa mungkin supaya sulit dibuktikan? (Tidak ada bukti adanya hubungan intim pada organ seksual MA).

Berikutnya, kenapa merasa tidak tahan dan melapor justru setelah 4 kali dan pada waktu hampir ujian nasional. Jika sejak Juli tentu kalaupun memang benar dia diancam, dia bisa pindah sekolah dengan mudah, dan kehormatannya terjaga.

Dan bagaimana dengan guru Y? Banyak pelajar di SMAN 22 membenarkan adanya hubungan khusus antara guru Y dan MA, hanya mereka berdua yang tidak mengaku. Kalau sudah begini, siapa maling teriak maling? Apakah MA dan Y menjebak T atau MA dan Y adalah korban T?

Lucunya, di acara yang saya tonton, MA justru menjerit histeris “pembohooong” saat Y sedang mengatakan, “saya dan siswi M tidak ada hubungan apa-apa selain guru dan murid”, lama setelah T bicara. Intinya, menurut saya ada kejanggalan pada kasus ini.

Kalau saya boleh berpendapat, seorang remaja berusia 17 tahun bukanlah seorang polos yang selalu jadi korban. Remaja berusia 17 yang berasal dari keluarga tidak baik atau kurang nasihat orangtua, bisa melakukan hal-hal mengejutkan, bahkan kriminal. Ini peringatan untuk orangtua sebenarnya.

Nilai-nilai apa yang Anda tanamkan pada putra putri Anda sejak kecil?

http://www.lettersfromparents.com

Bacaan yang (sangat) berat: Kurikulum 2013 (bag 3)

Kita balik ke kurikulum yuk, bagian terakhir nih… Di bagian sebelumnya, saya menjabarkan panjang lebar mengenai kurikulum dari tahun 40-an hingga 2000-an di sini.

Kali ini, saya akan mengawalinya dengan sepenggal artikel dari detik mengenai kurikulum 2013
——
Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan kurikulum 2013 pada tahun ajaran baru nanti. Mendikbud, M Nuh menjelaskan kurikulum ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang kreatif dan penuh inovatif. Untuk itu, tukang bangunan pun bisa jadi guru.

“Cara didiknya pakai pendekatan yang membiasakan adik-adik untuk memakai panca indera untuk melakukan observasi, faktual,” ujar M Nuh.

Hal ini disampaikan M Nuh dalam acara sosialisasi Kurikulum 2013 di kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jalan Kyai Mojo Srondol Kulon Banyumanik Semarang, Jawa Tengah, Minggu (13/1/2013).

M Nuh mengatakan bahwa tak hanya observasi, anak didik juga harus didorong untuk aktif bertanya. Kurikulum 2013 ini akan mengangkat sisi kepenasaran intelektualitas anak dengan mendorong nalar, bereksperimen, dan mengkomunikasikannya ke orang lain.

“Ini tidak harus butuh biaya yang besar. Misal sekolah belum diplester, (masih terlihat susunan batu bata). Ajak adik-adik untuk bertanya kenapa batu batanya disusun selang-seling, tidak sejajar. Mulailah kemampuan bertanya, kemudian nalarnya dia tanya ke tukang bangunan. Pak tukang pun bisa jadi guru,” ulas M Nuh.

Selain itu, kurikulum 2013 ini akan fokus pada tiga objek pembelajaran yakni fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena seni dan budaya.

“Sehingga kalau ada fenomena sosial, misal kenapa ada yang meninggal atau sakit kita perlu menjenguk,” tuturnya.

“Tidak perlu lab yang canggih,” imbuhnya.


—–

Saya rasa artikel di atas cukup menggambarkan kurikulum 2013. Tapi biar saya simpulkan untuk mempermudah pemahaman kita. Kurikulum 2013 kurang lebih seperti CBSA pada kurikulum tahun 1984 dengan penekanan pada lingkungan hidup sehari-hari.

Pertanyaannya adalah, apa peran guru dalam kurikulum 2013 ini?

Baik, mari kita bahas dulu apa peran guru dalam kurikulum sebelumnya dan apa seharusnya peran guru.

Dari banyak definisi mengenai mengajar, ada satu yang paling saya sukai, yaitu: mengajar adalah “perilaku yang direncanakan yang ditemukan dalam teori prinsip mengajar dan teori perkembangan anak dan menggunakannya baik dalam penyampaian materi maupun manajemen kelas, sehingga dapat mengubah perilaku anak (Levin dan Nolan).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir mengajar bukanlah sekedar menyampaikan materi, namun perubahan perilaku.

Sedihnya, kebanyakan guru di Indonesia masih beranggapan bahwa tugas mereka semata-mata adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Masuk kelas, sampaikan materi, bel, selesai.

Saya pernah mengajar di salah satu sekolah swasta. Saya shock mendapati banyak hal aneh, mulai dari guru pacaran dengan murid, guru menghasut siswa untuk tidak taat aturan sekolah, guru lebih membela siswa yang salah daripada rekan guru yang sedang mendisiplin, guru yang ribut dengan sesama guru. Kondisi yang membuat saya stress sendiri dan memutuskan untuk mengundurkan diri.

Memang sekolah tempat saya mengajar mungkin tidak bisa dijadikan ukuran untuk sekolah lain, namun ternyata cerita dari beberapa orangtua siswa yang bersekolah di tempat lain pun mengindikasikan kondisinya tidak jauh beda. Kemarin saya ngobrol dengan seorang sepupu yang anak tertuanya kelas 1 SMP. Dia bercerita bahwa belum lama, anaknya (ranking 3 besar di kelas) mendapat nilai 3 untuk matematika.

Ternyata guru matematika yang bersangkutan memang jarang menjelaskan dan tiba-tiba memberi ulangan. Dengan panik keponakan saya tersebut menghadap gurunya untuk suatu “corrective action”, berharap dapat diberi tugas, atau dijelaskan bagian yang tidak mengerti untuk kemudian diremediasi. Namun ternyata jawaban guru matematikanya sangat mengejutkan, “itu mah DL” (Derita loe) kemudian berlalu begitu saja.

Tak bisa dipungkiri, kualitas guru saat ini jauh menurun. Seperti yang sudah saya bahas di bagian 1, banyak orang menjadi guru tanpa ditunjang alasan dan pendidikan yang seharusnya.

Baik, terlepas dari guru yang berkewajiban mengubahkan perilaku siswa, kita melihat dulu apa saja kewajiban guru dalam penyampaian materi. Sebelum tahun ajaran baru, seorang guru wajib membuat silabus (rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar)

Silabus ini sifatnya wajib, karena merupakan panduan bagi guru dalam satu tahun. Pada kurikulum 2006 (KTSP), guru diberi keleluasaan menyesuaikan silabus dengan kondisi daerah di mana mereka mengajar. Namun kurangnya pembekalan dan training untuk guru membuat:
1. Silabus di-copy-paste dari internet
2. Guru memasukkan semua silabus dari berbagai sumber sehingga beban belajar anak terlalu berat
3. Tidak membuat silabus sama sekali sehingga proses pembelajaran tidak terarah
4. Silabus dibuatkan guru lain (biasanya bid.kurikulum) sebagai syarat akreditasi.

Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman yang mengajar di suatu sekolah. Kata teman saya itu, di sekolah tempat dia mengajar ada hadiah uang tunai bagi siapa saja yang mengumpulkan silabus. Lucu bukan? Silabus dilihat sebagai alat untuk kepentingan sekolah, padahal seharusnya untuk acuan guru.

Setelah membuat silabus, sebelum menyampaikan materi di kelas, seorang guru wajib membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), yang adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Dengan RPP, seorang guru dapat merencanakan pertemuan demi pertemuan sehingga waktu KBM di kelas berjalan dengan efektif.

Saya beberapa kali memberi training bagi guru mengenai pembuatan RPP yang menekankan pada karakter dengan memperhatikan gaya belajar dan kecerdasan majemuk anak. Pada saat training berlangsung, saya meminta guru membuat sebuah RPP dengan penekanan pada apa yang saya jabarkan di atas. Beberapa kali saya heran karena ternyata beberapa guru bahkan tidak sanggup membuat RPP sama sekali.

Setelah membahas tugas guru, sekarang mari kita bahas peran guru. Jaman dahulu, di mana internet belum ada, atau belum se-familiar sekarang, peran guru adalah sebagai “pelita dalam kegelapan” dan “embun penyejuk dalam kehausan”. Maksud saya, peran guru yang utama adalah memberi informasi, membuat bisa dari yang belum bisa, atau tahu dari yang belum tahu.

Dalam beberapa training yang saya bawakan, saya sering bertanya pada guru mengenai peran mereka, dan hampir semua menjawab seperti itu, “membuat anak dari tidak tahu menjadi tahu”,  saya kemudian akan bertanya, “apa bedanya Anda dengan google?”.

Dalam era sekarang ini, peran guru yang utama adalah “mengubahkan perilaku” melalui kegiatan belajar mengajar.

Makanya saya heran dengan pernyataan M.Nuh “tukang bangunan bisa jadi guru”. Baik, saya mengerti maksudnya mengenai “menjawab keingintahuan anak”, tapi lebih jauh saya bertanya, “apakah dengan era kemapanan sekarang anak memiliki rasa ingin tahu”. Sayangnya, anak-anak saat ini tidak memiliki rasa penasaran sebesar itu, kalaupun mereka punya, ada google yang bisa menjawab keingintahuan mereka.

Menurut saya tugas utama guru adalah, menyiapkan anak untuk menghadapi kehidupan dengan baik… Tidak cukup “memiliki pengetahuan akan sesuatu” menjadi modal seseorang dalam menjadi guru.

Namun yang saya rasa cukup baik dari kurikulum 2013 ini adalah penekanan pada alam, sosial, dan seni budaya. Tapi bukankah untuk itu tidak dibutuhkan kurikulum baru? Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar tentang banjir Jakarta dalam hubungannya dengan IPA atau IPS, bukan sekedar mengajar dari text book. Seandainya saja guru dibekali, mereka tidak akan mempermasakahkan kurangnya titik, koma, dan, atau kata-kata sambung lain dalam ulangan, atau mewajibkan siswa menjawab sesuai text book tanpa pengertian.

Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar siswanya bagaimana menyapa orang yang lebih tua, bagaimana berbahasa yang baik, apa buruknya memaki, dan bukan hanya mengajar tentang imbuhan dan sisipan.

Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar siswa mengenai belajar dari kesalahan dan bukannya sekedar mengajar sejarah yang terus berubah.

Ah, biaya sebesar itu daripada digunakan untuk mencetak buku baru dan membuat kurikulum baru, lebih baik dibuat untuk pelatihan guru..untuk Indonesia yang lebih baik.

Dan alangkah baiknya jika guru-guru yang tidak kompeten mau mengakuinya, mau belajar… Saya pernah mendengar selorohan kepala sekolah yang mengatakan bahwa orang yang paling sulit diajar adalah guru,karena mereka merasa tahu segalanya. Menurut saya, orang-orang seperti itu tidak pantas jadi guru,apalagi mendapat julukan, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.

Bacaan yang (lebih) berat: kurikulum 2013 (bag.2)

Sesuai janji saya kemarin, hari ini saya akan membahas masalah yang cukup berat. Mungkin hanya dimengerti sebagian orang. Tapi tak apalah, mudah-mudahan cukup informatif dan menggelitik.

Saya akan memulai pembahasan saya dari definisi kurikulum itu sendiri.

Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum di artikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah.

Dalam perkembangannya, kurikulum didefinisikan sebagai, suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.

Di negara ini, kurikulum ditetapkan oleh kementrian (dulu dept.) Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud). Beberapa kurikulum yang pernah digunakan di Indonesia adalah sbb: (boleh dilewat hungga tanda — di bawah).
1. 1947-Leer Plan
Isi: Jenis-jenis mata pelajaran dan waktu belajar, garis-garis besar pengajaran
Penekanan: pendidikan watak (karakter), kesadaran bermasyarakat
Pengajaran: dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, seni, olahraga

2. 1952 – Rencana Pelajaran Terurai
Mulai menggunakan Silabus

3. 1964 – Rentjana Pendidikan
Ciri utama: pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.

4. 1968 – kurikulum 1968
Kurikulum 1968 adalah penyempurnaan dari Kurikulum 1964. Pada kurikulum ini, struktur pendidikan diubah, dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi pertama. Beberapa mata pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial. Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering disebut Sains

5. Tahun 1975 – Kurikulum 1975
Kurikulum ini bertujuan agar pendidikan lebih efisien dan efektif.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Pada kurikulum ini mulai dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 ini sepertinya mimpi buruk bagi guru, karena mereka dibuat sibuk dengan berbagai catatan kegiatan belajar mengajar.

6. Tahun 1984 – Kurikulum 1984
Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Pendekatan pada kurikulum ini adalah proses belajar, tanpa melupakan tujuan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).

Saya masih mengalami kurikulum ini saat SD. Kurikulum yang luar biasa karena guru berperan sebagai fasilitator. Salah satu yang saya ingat adalah, kami diminta mengamati kecambah, kemudian membuat laporan hasilnya.

7. Tahun 1994 dan 1999 – Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Dalam kurikulum 1994 beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum sehingga Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.

Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada merevisi dan pengurangan beban sejumlah materi.

8. Tahun 2004 – Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi yang harus dicapai siswa. Kurikulum ini cenderung Sentralisme Pendidikan, Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan. Kurikulum yang tidak disahkan oleh keputusan/Peraturan Mentri Pendidikan ini mengalami banyak perubahan dibandingkan Kurikulum sebelumnya baik dari orientasi, teori-teori pembelajaran pendukungnya bahkan jumlah jam pelajaran dan durasi tiap jam pelajarannya.

Berdasarkan hal tersebut pemerintah baru menguji cobakan KBK di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa saja. Hasilnya kurang memuaskan. Maka sebagian pakar pendidikan menganggap bahwa pada tahun 2004 tidak terjadi perubahan kurikulum, yang ada adalah Uji Coba Kurikulum di sebagian sekolah yang disebut dengan KBK untuk kemudian disempurnakan pada tahun 2006.

9. Tahun 2006 – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.

Perbedaan yang paling menonjol pada Kurikulum ini adalah lebih konstruktif sehingga guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

Saya mengalami kurikulum 1984 saat saya SD dan 1994 saat saya SMP-SMA. Kalau melihat penjelasan di atas, bukankah aneh kalau sesuatu yang baik di kurikulum 1984 bisa menurun drastis di tahun 1994. Kemudian naik lagi di tahun 2006 yang ternyata penerapannya tidak sebaik kurikulum 1984.

Kurikulum 1947 hingga 1964 menekankan pada pembentukan karakter dan moral bangsa, entah bagaimana kemudian digantikan dengan Pendidikan Pancasila yang pada akhirnya dipenuhi dengan seperangkat hafalan-hafalan yang tidak ada (atau sulit dicari) hubungannya dengan etika, moral atau karakter.

Tragisnya masalah karakter ini tidak disebut-sebut lagi hingga kurikulum 2006 ini, walau secara wacana memang pernah disebutkan bahwa karakter akan dimasukkan ke dalam kurikulum.

Nah, sudah mulai kepanjangan lagi. Di bagian 3 nanti saya akan mendeskripsikan mengenai kurikulum 2013 dan tuntutan guru. Untuk sementara segini dulu ya…

Kebiasaan baik, kepercayaan, dan komunikasi.

Kemarin dan hari ini saya marah pada anak didik saya, alasannya klasik. Kemarin karena dia tidak membuat agenda dan jurnal harian, hari ini karena dia kurang bisa memperhitungkan waktu dan kurang baik dalam perencanaan kegiatannya. Bagi Anda mungkin sepele, tapi anak didik saya tahu benar, bahwa itu tidak sepele… itu adalah mata pelajaran utamanya.

Oya, anak didik saya adalah seorang siswi homeschooling dimana materi utama pendidikannya adalah mengenai kehidupan. Mata pelajaran utamanya adalah membangun kebiasaan baik, komunikasi, dan membangun kepercayaan orang lain.

Anda boleh tidak setuju dengan saya, tapi saya dengan berani bisa mengatakan, banyak sekolah bagus gagal memanusiakan siswa-siswinya. Mereka mencekoki anak didik dengan banyak pelajaran tanpa membekali mereka dengan modal dasar kehidupan.

Berapa banyak anak-anak (saya soroti yang sekolah di Sekolah Kristen) mengeluarkan boom anj*** dalam percakapan, dan guru tidak peduli?

Mengapa guru menghukum anak yang tidak mengerjakan PR tapi tidak peduli pada tanggungjawab mereka dalam menjaga kebersihan?

Mengapa guru sibuk membuat remedial untuk sebuah nilai yang memenuhi syarat kompetensi, tanpa menjelaskan bahwa dalam hidup, banyak hal tidak bisa diremedial…??

Mengapa nilai rapot begitu penting sementara setelah lulus mereka menjadi pecundang dalam pergaulan, tidak tahan uji dan begitu egois?

Beberapa orang mungkin berkata, “itu tugas orangtua”. Oh benar sekali, lalu apa tugas guru? Apakah pendidik hanya bertugas seperti google dan ensiklopedi? Menyampaikan pengetahuan demi pengetahuan kemudian tutup mata dan telinga pada apa yang terjadi pada bangsa ini?

Tugas utama sekolah adalah membangun kebiasaan baik, komunikasi, dan membina anak agar dapat dipercaya.

Jam masuk sekolah, agenda, jadwal adalah sebagian kecil cara untuk membangun kebiasaan baik, bukan sekedar pelengkap dalam sekolah.

Aturan sekolah, PR, ujian adalah bagaimana menjadikan siswa siswi kita manusia yang dapat dipercaya. Bukannya sekedar menunjukkan otoritas guru. Demikian juga seluruh mata pelajaran adalah tools yang bertujuan menjadikan mereka dapat dipercaya dalam bidang / profesi yang kelak mereka tekuni.

Tugas, interaksi, pelajaran bahasa, dan piket adalah tools untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak.

Rapot adalah alat untuk mengajar anak mengenai konsekuensi… itulah mengapa sebenarnya saya tidak setuju dengan remedial… yang seringkali bukan diliat sebagai sarana untuk memperbaiki kesalahan, tapi sarana untuk melakukan kesalahan (tenang aja, nanti juga ada remedial).

“Letters from Parents” yang saat ini sedang disiapkan audiobooknya tidak hanya ditujukan untuk orangtua di rumah, tapi juga untuk Anda, para guru, pengganti orangtua di sekolah…

Anda dapat memilikinya, membacanya,dan menjadikannya referensi ketika Anda dituntut untuk membina siswa-siswi, calon pemimpin masa depan…

Berisi hal-hal mendasar mengenai kehidupan yang perlu diketahui anak didik kita sebagai bekal sebelum mereka dewasa.

Jadi, nantikan kami langsung di sekolah Anda!!