Kita balik ke kurikulum yuk, bagian terakhir nih… Di bagian sebelumnya, saya menjabarkan panjang lebar mengenai kurikulum dari tahun 40-an hingga 2000-an di sini.
Kali ini, saya akan mengawalinya dengan sepenggal artikel dari detik mengenai kurikulum 2013
——
Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan kurikulum 2013 pada tahun ajaran baru nanti. Mendikbud, M Nuh menjelaskan kurikulum ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang kreatif dan penuh inovatif. Untuk itu, tukang bangunan pun bisa jadi guru.
“Cara didiknya pakai pendekatan yang membiasakan adik-adik untuk memakai panca indera untuk melakukan observasi, faktual,” ujar M Nuh.
Hal ini disampaikan M Nuh dalam acara sosialisasi Kurikulum 2013 di kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jalan Kyai Mojo Srondol Kulon Banyumanik Semarang, Jawa Tengah, Minggu (13/1/2013).
M Nuh mengatakan bahwa tak hanya observasi, anak didik juga harus didorong untuk aktif bertanya. Kurikulum 2013 ini akan mengangkat sisi kepenasaran intelektualitas anak dengan mendorong nalar, bereksperimen, dan mengkomunikasikannya ke orang lain.
“Ini tidak harus butuh biaya yang besar. Misal sekolah belum diplester, (masih terlihat susunan batu bata). Ajak adik-adik untuk bertanya kenapa batu batanya disusun selang-seling, tidak sejajar. Mulailah kemampuan bertanya, kemudian nalarnya dia tanya ke tukang bangunan. Pak tukang pun bisa jadi guru,” ulas M Nuh.
Selain itu, kurikulum 2013 ini akan fokus pada tiga objek pembelajaran yakni fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena seni dan budaya.
“Sehingga kalau ada fenomena sosial, misal kenapa ada yang meninggal atau sakit kita perlu menjenguk,” tuturnya.
“Tidak perlu lab yang canggih,” imbuhnya.
—–
Saya rasa artikel di atas cukup menggambarkan kurikulum 2013. Tapi biar saya simpulkan untuk mempermudah pemahaman kita. Kurikulum 2013 kurang lebih seperti CBSA pada kurikulum tahun 1984 dengan penekanan pada lingkungan hidup sehari-hari.
Pertanyaannya adalah, apa peran guru dalam kurikulum 2013 ini?
Baik, mari kita bahas dulu apa peran guru dalam kurikulum sebelumnya dan apa seharusnya peran guru.
Dari banyak definisi mengenai mengajar, ada satu yang paling saya sukai, yaitu: mengajar adalah “perilaku yang direncanakan yang ditemukan dalam teori prinsip mengajar dan teori perkembangan anak dan menggunakannya baik dalam penyampaian materi maupun manajemen kelas, sehingga dapat mengubah perilaku anak (Levin dan Nolan).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir mengajar bukanlah sekedar menyampaikan materi, namun perubahan perilaku.
Sedihnya, kebanyakan guru di Indonesia masih beranggapan bahwa tugas mereka semata-mata adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Masuk kelas, sampaikan materi, bel, selesai.
Saya pernah mengajar di salah satu sekolah swasta. Saya shock mendapati banyak hal aneh, mulai dari guru pacaran dengan murid, guru menghasut siswa untuk tidak taat aturan sekolah, guru lebih membela siswa yang salah daripada rekan guru yang sedang mendisiplin, guru yang ribut dengan sesama guru. Kondisi yang membuat saya stress sendiri dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Memang sekolah tempat saya mengajar mungkin tidak bisa dijadikan ukuran untuk sekolah lain, namun ternyata cerita dari beberapa orangtua siswa yang bersekolah di tempat lain pun mengindikasikan kondisinya tidak jauh beda. Kemarin saya ngobrol dengan seorang sepupu yang anak tertuanya kelas 1 SMP. Dia bercerita bahwa belum lama, anaknya (ranking 3 besar di kelas) mendapat nilai 3 untuk matematika.
Ternyata guru matematika yang bersangkutan memang jarang menjelaskan dan tiba-tiba memberi ulangan. Dengan panik keponakan saya tersebut menghadap gurunya untuk suatu “corrective action”, berharap dapat diberi tugas, atau dijelaskan bagian yang tidak mengerti untuk kemudian diremediasi. Namun ternyata jawaban guru matematikanya sangat mengejutkan, “itu mah DL” (Derita loe) kemudian berlalu begitu saja.
Tak bisa dipungkiri, kualitas guru saat ini jauh menurun. Seperti yang sudah saya bahas di bagian 1, banyak orang menjadi guru tanpa ditunjang alasan dan pendidikan yang seharusnya.
Baik, terlepas dari guru yang berkewajiban mengubahkan perilaku siswa, kita melihat dulu apa saja kewajiban guru dalam penyampaian materi. Sebelum tahun ajaran baru, seorang guru wajib membuat silabus (rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar)
Silabus ini sifatnya wajib, karena merupakan panduan bagi guru dalam satu tahun. Pada kurikulum 2006 (KTSP), guru diberi keleluasaan menyesuaikan silabus dengan kondisi daerah di mana mereka mengajar. Namun kurangnya pembekalan dan training untuk guru membuat:
1. Silabus di-copy-paste dari internet
2. Guru memasukkan semua silabus dari berbagai sumber sehingga beban belajar anak terlalu berat
3. Tidak membuat silabus sama sekali sehingga proses pembelajaran tidak terarah
4. Silabus dibuatkan guru lain (biasanya bid.kurikulum) sebagai syarat akreditasi.
Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman yang mengajar di suatu sekolah. Kata teman saya itu, di sekolah tempat dia mengajar ada hadiah uang tunai bagi siapa saja yang mengumpulkan silabus. Lucu bukan? Silabus dilihat sebagai alat untuk kepentingan sekolah, padahal seharusnya untuk acuan guru.
Setelah membuat silabus, sebelum menyampaikan materi di kelas, seorang guru wajib membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), yang adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Dengan RPP, seorang guru dapat merencanakan pertemuan demi pertemuan sehingga waktu KBM di kelas berjalan dengan efektif.
Saya beberapa kali memberi training bagi guru mengenai pembuatan RPP yang menekankan pada karakter dengan memperhatikan gaya belajar dan kecerdasan majemuk anak. Pada saat training berlangsung, saya meminta guru membuat sebuah RPP dengan penekanan pada apa yang saya jabarkan di atas. Beberapa kali saya heran karena ternyata beberapa guru bahkan tidak sanggup membuat RPP sama sekali.
Setelah membahas tugas guru, sekarang mari kita bahas peran guru. Jaman dahulu, di mana internet belum ada, atau belum se-familiar sekarang, peran guru adalah sebagai “pelita dalam kegelapan” dan “embun penyejuk dalam kehausan”. Maksud saya, peran guru yang utama adalah memberi informasi, membuat bisa dari yang belum bisa, atau tahu dari yang belum tahu.
Dalam beberapa training yang saya bawakan, saya sering bertanya pada guru mengenai peran mereka, dan hampir semua menjawab seperti itu, “membuat anak dari tidak tahu menjadi tahu”, saya kemudian akan bertanya, “apa bedanya Anda dengan google?”.
Dalam era sekarang ini, peran guru yang utama adalah “mengubahkan perilaku” melalui kegiatan belajar mengajar.
Makanya saya heran dengan pernyataan M.Nuh “tukang bangunan bisa jadi guru”. Baik, saya mengerti maksudnya mengenai “menjawab keingintahuan anak”, tapi lebih jauh saya bertanya, “apakah dengan era kemapanan sekarang anak memiliki rasa ingin tahu”. Sayangnya, anak-anak saat ini tidak memiliki rasa penasaran sebesar itu, kalaupun mereka punya, ada google yang bisa menjawab keingintahuan mereka.
Menurut saya tugas utama guru adalah, menyiapkan anak untuk menghadapi kehidupan dengan baik… Tidak cukup “memiliki pengetahuan akan sesuatu” menjadi modal seseorang dalam menjadi guru.
Namun yang saya rasa cukup baik dari kurikulum 2013 ini adalah penekanan pada alam, sosial, dan seni budaya. Tapi bukankah untuk itu tidak dibutuhkan kurikulum baru? Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar tentang banjir Jakarta dalam hubungannya dengan IPA atau IPS, bukan sekedar mengajar dari text book. Seandainya saja guru dibekali, mereka tidak akan mempermasakahkan kurangnya titik, koma, dan, atau kata-kata sambung lain dalam ulangan, atau mewajibkan siswa menjawab sesuai text book tanpa pengertian.
Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar siswanya bagaimana menyapa orang yang lebih tua, bagaimana berbahasa yang baik, apa buruknya memaki, dan bukan hanya mengajar tentang imbuhan dan sisipan.
Seandainya saja guru dibekali, mereka dapat mengajar siswa mengenai belajar dari kesalahan dan bukannya sekedar mengajar sejarah yang terus berubah.
Ah, biaya sebesar itu daripada digunakan untuk mencetak buku baru dan membuat kurikulum baru, lebih baik dibuat untuk pelatihan guru..untuk Indonesia yang lebih baik.
Dan alangkah baiknya jika guru-guru yang tidak kompeten mau mengakuinya, mau belajar… Saya pernah mendengar selorohan kepala sekolah yang mengatakan bahwa orang yang paling sulit diajar adalah guru,karena mereka merasa tahu segalanya. Menurut saya, orang-orang seperti itu tidak pantas jadi guru,apalagi mendapat julukan, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.