Menjaga Nama Baik Itu….

Kemarin, saya mengajukan pertanyaan seperti ini pada anak didik saya yang masih remaja, “jika suatu saat temanmu memintamu memegangkan untuknya rokok yang masih menyala, dan saya melihatmu di jalan, apa yang akan kamu lakukan?”

Dia menjawab “Abeth (namanya) jelasin”

Saya tanya,” knp? Kan Abeth ga ngerokok”

Dia jawab,”supaya kak Greis ga salah sangka”

Saya tanya lagi, “emang kenapa kalau sampai saya salah sangka?”

Dia jawab, “nanti Abeth dikira ngerokok padahal engga”

Saya kemudian menjelaskannya bahwa itu adalah tentang nama baik. Anak didik saya merasa perlu menjelaskan karena ia ingin tetap mempertahankan nama baiknya di hadapan saya.

Saat itu saya sedang menjelaskannya mengenai “melapor”. Selama ini, kami pengajar memberitahunya untuk segera melapor saat terjadi ketidaksesuaian. Misal, dia diminta mengerjakan a di suatu tempat, jika ternyata dia menemukan kendala, baik dari lingkungan maupun orang, dia harus segera melapor pada otoritasnya saat itu (dalam hal ini, kami sebagai pendidik).

Kemarin saya menjelaskan, bahwa selain laporan, ada satu hal di mana dia juga wajib memberi keterangan,yaitu jika itu menyangkut persepsi orang lain (khususnya otoritasnya) tentang dirinya. Kemarin minggu, dia pamit pada saya untuk pulang ke rumahnya sekitar jam 3. Sebagai pengajar kami pikir dia langsung pulang. Ternyata teman saya menemukan dia di gereja hingga pukul 7 lewat.

Saat itu, dia bertemu teman saya, salah tingkah, tapi tidak menjelaskan apapun. Teman saya mengatakan pada saya dan bertanya-tanya mengapa murid saya tidak langsung pulang ke rumah (dia sudah ibadah pagi). Saya katakan pada teman saya dugaan saya bahwa minggu kemarin dia pulang dan keluarganya sedang pergi sehingga dia tidak bisa masuk, mungkin kali ini pun begitu hingga dia memutuskan menunggu di gereja.

Besoknya, yaitu kemarin malam, saat ditanya dia menjelaskan tepat seperti prrkiraan saya. Dia bilang sebenarnya sudah ingin menjelaskan pada teman saya, tapi dia pikir sebaiknya ditunda besok saja. Kemudian saya memberinya pertanyaan seperti yang saya ceritakan di awal kisah ini. Saya katakan pentingnya mendapat kepercayaan orang lain, terutama otoritas kita.

Mungkin ini adalah masalah sepele, tapi seperti kata bang napi, kejahatan terjadi bukan saja karena niat pelakunya, tapi karena adanya kesempatan, waspadalah, waspadalah…. penilaian buruk terjadi bukan hanya karena persepsi penilai, tapi karena adanya kesempatan yang diberikan oleh si obyek.

Saya mengalami ini berkali-kali. Orang memiliki persepsi buruk dan bergosip karena  persepsi itu. Saya sering diingatkan orangtua saya tentang ini. Bahwa orangtua saya percaya pada saya, tapi mungkin orang lain melihatnya dan mengambil kesempatan untuk bergosip. 

Saya sadar,tidak salah orang memiliki persepsi. Seperti yang sering saya katakan, kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita. Satu hal yang perlu kita lakukan adalah berbuat benar, karena dengan berbuat apa yang benar, kita menjaga nama baik kita. Dengan berbuat benar kita menutup kemungkinan orang memiliki persepsi buruk, (jika memang masih, itu masalah mereka).

Dan seperti apa yang saya ajarkan pada anak didik saya, segera konfirmasi pada otoritasmu jika ada kemungkinan mereka salah paham tentangmu, karena kepercayaan merekalah yang terpenting, seperti kata firman Tuhan, otoritas (pemimpin) adalah mereka yang Tuhan tetapkan untuk berjaga-jaga atas jiwa kita sebagai orang yang bertanggungjawab atasnya (Ibrani 13:17). Jangan menentang otoritas, jaga kepercayaan mereka dengan melakukan apa yang benar. Karena jika itu kita lakukan, kita akan mendapat pembela yang membela kita dengan sukacita.