Komposisi kebahagiaan

Saya sedang duduk di samping sekelompok mahasiswi yang kelihatannya berasal dari luar kota. Dari percakapan mereka yang saya dengarkan, nampaknya mereka sedang menunggu dimulainya film di bioskop.

Walau saya tidak tertarik memulai pembicaraan dengan mereka, saya menangkap ketika seorang mahasiswi mendapat telepon dari mamanya. Dia menjawab kurang lebih seperti ini, “ya Ma,…lagi di luar ini sama teman-teman. (Jeda) Iya… (Jeda) daaah…”

Dari sepenggal kalimat itu saya kemudian memikirkan sesuatu mengenai “komposisi kebahagiaan”, dan mulai menuliskannya di sini.

Saya juga pernah kuliah… Lebih dari 10 tahun yang lalu untuk S1 saya. Saya kuliah di Teknik Industri Unpar yang (seingat saya) tidak memungkinkan saya untuk kongkow-kongkow dengan teman-teman saya seperti mahasiswi-mahasiswi jurusan Akuntansi ini.

Kelompok kami saat kuliah dulu berjumlah 15 orang jika berkumpul bersama (yang mana sangat jarang kecuali jika ada yang mentraktir di hari ulangtahun atau mengerjakan tugas). Dari 15 orang itu sebagian besar lulus tepat waktu (empat tahun). Tentu saja anak-anak lain yang memutuskan bahwa kebahagiaan lebih penting menghabiskan waktu lebih lama untuk lulus.

Berbicara tentang kuliah, lebih banyak berbicara tentang harapan orangtua daripada harapan mahasiswa/i yang menjalaninya. Terus terang saja, usia 17 / 18 – 21 tahun merupakan usia yang masih begitu muda dan belum memikirkan tentang masa depan atau harapan (memang tidak semua, sih).

Berbicara tentang kuliah juga untuk kebanyakan mahasiswa adalah berbicara tentang uang saku lebih besar (bulanan / mingguan) yang dibutuhkan baik untuk mengerjakan tugas, membayar uang kos, dan “refreshing” (toh saat kuliah jam belajar tidak tentu dan saat kuliah lebih mudah membohongi orangtua dengan mengatakan “tugas kelompok”)

Sebagian besar mahasiswa mendapatkan uang sakunya dari orangtua, walau ada juga yang mendapatkannya dari bekerja memberi privat les atau kerjaan sampingan lainnya.

Baik,  mari kita bicara tentang mereka yang mendapat uang saku dari orangtua. Dengan usia saya yang berkepala tiga, saya tidak lagi melihat sesuatu dari sudut pandang remaja (tentu saja, sudah lama saya meninggalkan usia remaja). Jika saya melihat dari sudut pandang remaja, saya akan menganggap bahwa sudah kewajiban orangtua mencukupi anak-anaknya dan memberikan semua permintaan mereka.

Menurut Anda, apa harapan orangtua saat memberi uang saku untuk anak-anak mereka yang sudah mahasiswa?

Dari kacamata saya sih (yang bukan kacamata remaja ini), saya berharap uang saku yang diberikan dapat digunakan sesuai prioritas yang semestinya. Artinya pertama-tama digunakan untuk bayar kost, kebutuhan pokok dan memenuhi tugas-tugas, berikutnya adalah untuk kebutuhan lain.

Nah, bicara tentang “kebutuhan lain”, apakah di benak orangtua yang membiayai anaknya yang berada di luar kota untuk kuliah ada pertimbangan memberi tambahan saku untuk entertainment? (Seperti karaoke, nonton bioskop, jalan-jalan ke lembang, dll)

Atau jika anaknya berada di rumah yang sama (artinya tidak di luar kota), apakah ada dana yang disisihkan orangtua mahasiswa untuk anak-anaknya bersenang-senang (menonton, karaoke, dll)?

Sebelumnya, untuk Anda yang penasaran “bagaimana dengan kamu? Apakah kamu juga tidak pernah nonton atau karaoke atau bersenang-senang saat kuliah hingga menulis seperti ini?”

Saat saya kuliah, Papa saya bekerja di luar kota dan Mama saya mengaturkan uang saku untuk saya yang jumlahnya hanya cukup untuk ongkos dan fotokopi beberapa lembar saja. Kebutuhan lain saya dapatkan dari memberi les kepada seorang anak. Dengan jadwal kuliah, mengerjakan tugas, memberi les dan melayani di gereja saya sama sekali tidak memiliki waktu untuk nonton, atau kegiatan “entertainment” lain bersama teman-teman saya, dan beruntungnya, saya tidak merasa bahwa masa muda saya kurang bahagia karena hal itu.

Saya sering mendengar kalimat seperti ini “orangtua menginginkan kebahagiaan anaknya”. Apa Anda pernah juga mendengarnya? Saya penasaran dengan kalimat itu… Komposisi kebahagiaan seperti apa yang diharapkan oleh orangtua?

Apakah komposisinya seperti 50 persen kehidupan serius (seperti kuliah dan kegiatan rohani) dan 50 persen bersenang-senang?

Atau apakah komposisinya seperti 50 persen memikirkan karir, 50 persen untuk keluarga? Atau 70 persen untuk masa depan 10 persen untuk keluarga, 10 persen untuk istirahat dan 10 persen untuk bersenang-senang?

Inti dari pertanyaan saya adalah, apakah “bersenang-senang” (yang mungkin diartikan dengan bersosialisasi) masuk ke dalam planning orangtua dari mahasiswa untuk kebahagiaan anak-anaknya?

Dunia saat ini begitu berbeda dengan dunia saat saya kuliah dulu. Dulu, handphone hanya digunakan untuk berkomunikasi (telepon dan sms), saat ini handphone adalah dunia dalam genggaman. Dulu, informasi diperoleh dari buku-buku, ensiklopedia dan perpustakaan, saat ini googling dan semua jawaban tersedia.

Dengan berbedanya jaman dulu dan sekarang, tentu definisi kebahagiaan pun berubah, tuntutan akan “bahagia” semakin tinggi, walau pada akhirnya secara psikologis mahasiswa tetap memiliki tuntutan yang sama di setiap jaman,yaitu selalu merasa butuh refreshing dan hiburan.

Mungkin setiap keluarga memiliki definisi berbeda tentang kebahagiaan… Saya tidak memiliki jawaban untuk permasalahan ini. Saya tidak sedang menilai mengenai benar atau salah seorang mahasiswa menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.

Saya hanya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat dari orang bijak:
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”

Orangtua perlu menetapkan sebuah standar bagi anak-anak mereka. Suatu standar yang merupakan “jalan yang patut” / “jalan yang seharusnya”. Standar ini tentunya berasal dari kitab suci dan etika serta moral dalam masyarakat.

Karena komposisi kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika anak muda tidak menyimpang dari jalan yang patut itu sampai masa tuanya dan ketika  anak muda kita tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, atau tidak berdiri di jalan orang berdosa dan tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.

Maafkan njelimetisasi tulisan saya hari ini. Mudah-mudahan dimengerti…

Ps: nah… Saat saya akan pulang setelah mempost tulisan ini, mahasiswi – mahasiswi di samping saya baru saja naik ke bioskop… Menonton film jam 9an… Rupanya kebanyakan mereka berasal dari luar pulau… Yah, mungkin mereka sedang butuh refreshing di Rabu malam ini…