Holiday day 2 – Kampung Babel, Mr. Bean dan Gender ketiga


To Phiphi Island

Sekali lagi saya ingatkan, Thailand ini negara ASEAN yang belum pernah dijajah oleh negara lain. Mungkin itu salah satu sebab negara ini masih menggunakan tulisan paku di mana-mana, seperti yang biasa kita temukan di dokumen-dokumen peninggalan Majapahit.

Jika memang dugaan saya benar, betapa bersyukurnya saya Indonesia dulu dijajah oleh Belanda. Jika tidak, mungkin sekolah-sekolah masih akan mengajarkan huruf-huruf paku yang (terkesan) primitif itu.

Itulah kurang lebih salah satu topik yang kami bicarakan dalam perjalanan menuju dermaga tempat pemberangkatan kapal ke Phi phi Don (kami dijemput di hotel, dan perjalanan menghabiskan waktu 1,5 jam). Sejujurnya saya masih bingung, apakah yang kami kunjungi itu Phi phi Don atau Phi phi Lay. Di kertas tiket kami tertulis Pho-phi Lay, tapi di peta pulau itu sendiri tertulis Phi phi Don. Mmm, nanti saya akan cari tahu.

image

Kapal yang membawa kami ke pulau Phi phi jauh lebih baik dari kapal yang mengangkut penumpang ke tidung (kep. seribu). Setidaknya kami masih duduk nyaman sambil menonton TV di dalam ruang ber AC.

Di dalam kapal, saya merasa seperti berada di perkampungan Babel, di mana tiap orang tidak saling mengerti bahasa satu dengan yang lain. Belum lagi orang Thai sendiri yang mengalami kesulitan dalam mengerti dan mengucapkan bahasa Inggris. Saya merasa kurang lebih seperti itulah rasanya jika hidup di masa Tuhan menghancurkan Menara Babel.

Ada satu hal yang unik dalam perjalanan itu. Walau tiap orang berasal dari suku bangsa negara yang berbeda, namun pihak kapal memutar sebuah tayangan dengan bahasa universal yang dimengerti semua orang yang menonton. Apa itu? MISTER BEAN!

Dengan Mr. Bean yang diputar di TV kapal setiap orang dapat menyimak hal yang sama, dan tertawa pada saat yang bersamaan, seolah saling mengerti satu dengan yang lain.

Ah, bukankah seperti halnya kebaikan hati, kebahagiaan adalah bahasa universal. Saya menemukan, tersenyum dan mendahulukan orang lain dapat menularkan sebuah gelombang yang dimengerti tiap orang: sukacita! Mungkin, itulah yang membedakan perjalanan kali ini dengan jaman Menara Babel dulu hehehe…

Phiphi Island

image

Dalam perjalanan kali ini, dengan berat hati saya menolak untuk renang di laut maupun snorkling karena tiba-tiba saja saya diingatkan pada kodrat saya sebagai wanita dan mendapat halangan untuk melakukan dua kegiatan yang saya sukai itu. Jadi, saya mengikuti arus manusia-manusia itu berjalan menyusuri pulau Phiphi dan berbelanja beberapa oleh-oleh.

image

Pulau Phiphi adalah pulau wisata yang tidak memiliki jalan raya untuk mobil dan motor. Dikelilingi oleh para penjual oleh-oleh, hotel, dan resto yang sepertinya tidak peduli jika wisatawan membeli barang dagangan mereka atau tidak.

image

image

Di phiphi ini, saya mencoba air kelapa yang manis walau tanpa diberi gula. Sepertinya Thailand merupakan Surga buah-buahan lezat.

Kami memiliki wajtu sekitar 2,5 jam untuk berjalan-jalan sebelum akhirnya makan siang dan kembali ke kapal pk. 2.15, tiba di dermaga pk. 16.15 dan kemudian ke hotel. Sebuah perjalanan singkat yang kurang menyenangkan untuk seorang kinestetik seperti saya.

Satu hal yang saya kagumi adalah loyalitas Thailand terhadap kerajaan. Banyak sekali foto keluarga kerajaan yang mereka simpan di pojokan-pojokan, lengkap dengan meja semacam meja sesajen. Nanti akan saya cari tahu lebih jauh tentang ini.

image

Simon Kabaret

Kami tiba di hotel pk. 17.45, langsung mandi dan bersiap-siap untuk menonton pertunjukan Simon Kabaret yang sebagian besar diperankan oleh transgender.

image

Selama pertunjukkan kami tidak diperkenankan mengambil gambar maupun rekaman, sebuah hal yang memang tidak aneh untuk sebuah pertunjukkan seni khas daerah.

Jika Anda bertanya pendapat saya, maka saya akan menuliskannya menjadi beberapa poin:
1. Para transgender itu hampir membuat saya berpikir bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan 3 gender: pria, wanita, waria karena gaya dan gemulai mereka yang melebihi wanita sekalipun.
2. Dekor panggung dan kostum merupakan daya tarik utama pertunjukkan ini. Tanpa itu, mereka hanya sekedar banci yang menari dengan biasa-biasa saja di panggung.
3. Profesionalisme kru. Urut-urutan pertunjukan yang smooth, tanpa jeda cukup membuat saya kagum. Tentunya di belakang panggung ada banyak kru luar biasa yang kompak dan hebat.

Setelah pertunjukkan usai, waria dengan pakaian luar biasa itu berbaris di depan untuk mendapat penghasilan tambahan dari mereka yang ingin difoto bersama. Tidak ada satu pun dari keluarga saya yang berminat foto dengan mereka hingga saya tidak bisa menunjukkannya.

Saya akan menutup kisah hari ini dengan sebuah pemikiran luar biasa, Jika negara Thailand bisa mengekspose banci untuk seni dan pendapatan negara, masakan bangsa kita yang kaya budaya tidak bisa memamfaatkan seni untuk pendapatan negara?

Besok hari peringatan kemerdekaan RI. Saya benar-benar membanggakan tanah air saya,…Menurut saya Indonesia adalah satu-satunya tempat di mana jatah libur dan cuti seumur hidup tidak akan cukup untuk mengeksplore keindahannya.

Dirgahayu Indonesia yang ke 68. Tuhan memberkati Indonesia!